totally co-pas dari sini
~ Indonesia Version~
Korban Gempa & Orang Kaya
[Isi artikel ini kurang lebih sama dengan surat saya yang diterbitkan di Jakarta Post kemarin. Saya terjemahkan buat teman2 yang kurang paham.]
Assalamu'alaikum wr.wb.,
Beberapa hari yang lalu, saya baca di berita bahwa menteri dan anggota senior Golkar Aburizal Bakrie telah berjanji untuk membuat dana 1 triliun untuk mengembangkan Golkar lagi (kalau mereka angkat dia sebagai ketua umum). Tetapi saya belum baca berita bahwa Bakrie ataupun orang kaya lain bersedia mendirikan dana 1 triliun untuk membantu korban gempa di Padang atau Jawa Barat. (Ada gempa bumi juga di Jawa Barat sekitar 4 minggu yang lalu, tetapi hal itu jarang dibahas sekarang. Tidak apa-apa. Kita seakan-akan hanya sanggup mengingat satu bencana saja. Mengingat dua sulit.)
Sepertinya, kalau sedang mengejar kekayaan dan kekuasaan, maka jumlah besar seperti 1 triliun bisa saja dicari. Dan sepertinya memang ada banyak sekali orang yang punya kekayaan pribadi yang besar karena jumlah mobil mewah seperti Bentley, Ferrari, Porche, Hummer, dan Lamborghini bertambah terus di jalannya Jakarta.
Bagi orang yang sangat peduli pada kekayaan dan kekuasaan, uang sebesar 1 triliun sepertinya bisa dicari dengan mudah, asal berhasil menambahkan kekayaan dan kekuasaan lagi. Tetapi kalau yang membutuhkannya adalah rakyat sendiri yang sedang menderita, maka suara dari kaum elit tidak terdengar lagi.
Kalau masih musim kampanye, pasti ada 40 partai politik yang siap terjun ke Padang untuk membagi-bagi sembako dan kaos dengan muka para caleg dia atasnya. Sayangnya ini sudah bukan musim kampanye lagi.
Hari Minggu kemarin saya lihat di berita bahwa TNI-AU akan berhenti mengirim bantuan ke Padang pada hari itu (4 Oktober). Alasannya, bantuan yang telah dikirim kemarin masih bertumpuk2 di bandara Padang, dan belum dibagikan. Sepertinya tidak ada yang tahu siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas semua bantuan yang sudah dikirim itu. Tetapi tidak ada yang peduli. Solusi yang paling sederhana adalah untuk berhenti kirim bantuan sementara.
Pemerintah bertindak secara lambat dan birokratis (seperti biasa). Contohnya, saya juga lihat di berita bahwa salah satu bupati di Padang menolak untuk membagikan bantuan yang telah diterima kecuali para korban bisa menunjukkan surat2 dari ketua RT dan RW. Oleh karena itu, bantuan bertumpuk2 di dalam kantor sang bupati tersebut. Saya jadi berfikir, bagaimana caranya untuk mendapatkan surat dari ketua RT kalau sang ketua RT sendiri juga tertimbun di bawah reruntuhan rumahnya?
Kalau perkara yang sama sedang terjadi di negara barat yang maju, seperti Australia, Inggris, atau Perancis, maka semua warga pasti sudah mulai protes dengan keras. Orang yang bertahan hidup tanpa makanan, minuman, tempat pengungsi atau pengobatan selama 5-10 hari pasti teriak dengan keras tentang tindakan pemerintah yang lambat, dan kemungkinan besar ada pejabat yang terpaksa mengundurkan diri. Tetapi ini Indonesia.
Bisa dijamin sebagian korban akan wafat, walaupun selamat dari gempa, disebabkan mereka tidak dapat air bersih, makanan, obat-obatan, dokter, dan sebagainya. Tetapi itu bukan perkara besar karena mereka tidak akan dihitung. Hanya orang yang wafat cepat dari luka2nya akan dihitung oleh pemerintah. Tetapi dalam minggu-minggu dan bulan-bulan yang mendatang, akan ada lagi yang wafat dari penyakit yang bisa diobati, seperti diare, dihidrasi, infeksi, dan sebagainya. Tetapi karena mereka tidak wafat secara cepat, mereka tidak akan masuk perhitungan sebagai korban. (Korban yang paling baik adalah yang sudah wafat pada saat ditemukan, jadi lebih mudah untuk dihitung.)
Banyak negara sudah antrian untuk memberikan bantuan kepada korban di Padang, dan itu sangat dibutuhkan dan juga sangat dihargai. Tetapi warga Indonesia yang kaya bisa melakukan lebih tanpa harus ada bantuan dari negara asing. Tetapi sepertinya mereka tidak mau. Mayoritas dari orang kaya yang pernah saya lihat di Jakarta lebih terobsesi pada diri sendiri daripada orang lain, dan hanya bisa utamakan diri sendiri di atas segala-galanya. Atau minimal mereka akan membantu orang lain sesedikit mungkin (usaha yang paling kecil) tanpa terlalu berkorban supaya masih bisa hidup dalam kekayaan yang sangat berlebihan.
Dalam sejarah manusia kita, ada banyak sekali contoh dari orang yang sangat mulia dan baik hati, yang tidak peduli pada kekayaan yang berlebihan, dan lebih peduli tentang bagaimana mereka bisa membantu dan melayani orang lain, untuk mengangkat dan memperbaiki martabat manusia. Mahatma Gandhi, Martin Luther King, Nelson Mandela dan Bunda Theresia adalah beberapa contoh saja. Kalau seandainya kita punya orang seperti itu yang tinggal di sini untuk menjadi contoh bagi yang lain, maka barangkali akan ada lebih sedikit Hummer di jalan-jalannya Jakarta dan lebih banyak dapur umum di Padang sekarang.
Tetapi ini Indonesia. Sebenarnya yang nyata adalah bantuan akan datang sedikit demi sedikit, sebagian orang akan bertahan hidup, sebagian lain akan wafat, sebagian akan menjadi pengemis karena mereka jatuh miskin atau badannya menjadi cacat, dan seluruh negara akan lupakan nasib saudara kita di Padang dan akan berfokus lagi pada artis sinetron yang mana yang sedang cerai.
Dan kita akan begitu terus sampai bencana yang berikut, dan pada saat itu semua orang akan kembali peduli untuk beberapa saat saja, sebelum sinetron atau acara gossip mulai lagi di tivi.
Dan kaum elit yang punya uang dan kekuasaan di Jakarta akan lupa juga, dan akan berfokus lagi pada sebuah keputusan yang berat: “Apakah saya mau beli sebuah Bentley lagi, atau beli Ferrari saja?” Dan dunia akan berputar terus. Selamat datang di Indonesia. Sampai jumpa pada bencana berikut. Dan pada saat itu, komentar ini bisa diulangi lagi karena pasti belum ada yang berubah.
Wassalamu'alaikum wr.wb.,
Gene
~English Version~
Letter to Jakarta Post : Politics and Earthquakes
[Published in Jakarta Post on 7 October, 2009]
Several days ago I read a news report saying that government minister and senior member of Golkar political party, Aburizal Bakrie, had openly pledged to set up a one trillion rupiah trust fund for Golkar to help them win elections in the future (if they make him their leader). But until now, I haven’t read anything about a 1 trillion rupiah fund from Bakrie or anyone else to benefit earthquake victims in Padang and West Java. (There was also a serious earthquake in West Java about 4 weeks ago, but no one seems to remember that anymore).
It seems that when power and prestige are at stake, Indonesia’s political and financial elite are able to find massive sums of money to further their ambitions. There is certainly no shortage of personal wealth available here, as evidenced by the ever increasing number of Bentleys, Ferraris, Porches, Hummers, and Lamborghinis that are visible on the streets of Jakarta these days.
People who are members of the financial elite seem to care so much about power and money that when opportunities to get more power and money present themselves, then massive amounts like 1 trillion rupiah can suddenly become available. But when it comes to providing much needed humanitarian assistance for fellow citizens, then the same voices are never heard. Although, if this was still the election campaign season, then there would be up to 40 political parties in the disaster area, handing out food and T-shirts with candidates’ faces on them, and money would flow like water. Unfortunately, the campaigning is over.
And the government seems determined to do everything as slowly and bureaucratically as possible. For example, I saw on the news that one regent refused to release aid (which was piling up in his office) unless victims could show documentation from their neighborhood chief (presumably to prove that they were residents and that their houses had been destroyed). I wondered how an earthquake victim would get the necessary letters if the local chief himself was also buried under the ruins of his house.
If this same series of events was happening in a developed country like Australia, the UK, or France, there would be public outrage at the slow pace of the government. People who have been without food, water, shelter and medical attention for 5 days would be demanding that someone take responsibility, and some member of the government would probably have to resign. But this is Indonesia.
Some people will probably die after surviving the initial earthquake, simply because they have limited or no access to food, water, medicine, doctors and so on. But that doesn’t really bother anyone, as no one will count them. Only the people who died quickly from their wounds will be counted in the government’s official total and no one will take responsibility for or protest about the old and the young who will die in the weeks and months to come from treatable illnesses like diarrhea, dehydration or infection. Those people probably aren’t as important as the initial victims, who are much easier to count because they were already dead when found by rescue workers.
Many countries are lining up to send assistance to the victims in Padang, and that is both desperately needed and gratefully accepted. But the wealthier citizens of Indonesia are capable of doing so much more by themselves. Unfortunately, they probably won’t. A majority of well-off people that I have seen in Jakarta is so full of self-interest that it almost seems to be a cultural obsession to take care of yourself above all else and do as little as possible to help others. Or at least, help others a little bit (as a token gesture) without sacrificing too much, so that you can still live in excessive luxury.
In our human history, there have been numerous examples of larger than life individuals, who were less concerned with lives of excessive luxury and more concerned with how they could be of service to others, for the benefit and also the betterment of all mankind. Mahatma Gandhi, Martin Luther King, Nelson Mandela and Mother Theresa are just a few examples. If only we had such people living here in Indonesia to set an example to others then there might be fewer Hummers on the streets of Jakarta and more free public kitchens in Pandang right now.
But this is Indonesia. Realistically, we can expect that aid will slowly arrive, some people will live, some will die, some will survive and become beggars because they are destitute and physically disabled, and the whole country will forget and focus their attention once again on which TV stars are getting divorced. At least until the next natural disaster occurs, and then everyone will care again for a few minutes before their favorite soap operas and celebrity gossip shows start.
And the people with wealth and power in Jakarta will also quickly forget, and will refocus their attention on a very a difficult decision: “Shall I buy another Bentley or a Ferrari this time?” And life will go on as usual. Welcome to Indonesia. See you next natural disaster, when the comments above will be repeated again as nothing will have changed.
Gene Netto
Jakarta, Indonesia
foto image dari sini .....
uang 1 trilyun akan besar manfaatnya buat rehabilitasi padang pasca gempa.. wallahualam...
ReplyDeletebener sekali ning.... tapi politik, kekuasaan, dan prestise jadi lebih penting
ReplyDelete